Maraknya
Korupsi di Kalangan Pejabat Negara
Saat
ini negara sedang berjuang untuk memberantas korupsi yang kebanyakan di lakukan
oleh pejabat-pejabat negara. Tercatat sejak tahun 2004 hingga tahun 2018,
sebanyak 998 pejabat melakukan tindak
pidana korupsi dari berbagai latar belakang pekerjaan. Jumlah tersebut setiap
tahunnya terus bertambah. Sebut saja mantan ketua DPR periode 2014-2019 Setya
Novanto yang terpidana kasus e-KTP. Kasus tersebut merupakan penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan oleh Setya Novanto sebagai ketua DPR. Saat kasusnya
sedang bergulir, novanto juga melakukan drama-drama demi mengulur waktu untuk
kasusnya. Saat itu Novanto pernah menggegerkan publik lewat laporan kecelakaan
yang dialaminya. Kendaraan yang ditumpangi oleh Novanto dikabarkan menabrak
tiang listrik hingga ia harus dirawat di rumah sakit. Setelah diusut, diketahui
bahwa kecelakaan tersebut ternyata kecelakaan palsu yang dibuat untuk menunda
proses hukum yang sedang dialaminya. Setahun yang lalu, juga mencuat kabar
bahwa sel tahanan yang di huni oleh Novanto tidak sesuai ketentuan. Didalam sel
tahanan yang dihuninya terdapat tempat tidur dan fasilitas lainnya yang dimana
para tahanan lain tidak mendapatkan fasilitas mewah tersebut. Ini merupakan
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Novanto dimana seorang tahanan
tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara tidak seharusnya
mendapatkan fasilitas yang mewah di dalam sel. Akan tetapi dikarenakan Novanto
memiliki kekuasaan ia bisa mendapatkan fasilitas tersebut. Sedangkan para
narapidana lainnya mereka tidak bisa mendapatkan perlakuan yang sama
dikarenakan uang dan jabatan yang dimiliki tidak seperti novanto. Padahal di
mata hukum semua warga negara memiliki hak dan kedudukan yang sama. Ini
menandakan bahwa hukum di negara kita tajam kebawah dan tumpul keatas.
Orang-orang yang memiliki keududukan, uang akan mendapatkan perlakuan istimewa
walaupun ia melakukan kesalahan. Sangat miris jika dilihat, orang yang
merugikan negara bisa hidup mewah didalam tahanan. Padahal negara sangatlah
dirugikan oleh masalah yang ditimbulkannya. Banyak anggota DPR lainnya yang
melakukan tindak pidana korupsi seperti anggota DPR komisi VI Bowo Sidik
Pangarso yang menjadi terdakwa kasus suap pelayaran antara PT Pupuk Indonesia
Logistik dan PT HTK, Fayakhun Andriadi anggota DPR dari komisi I. dengan
banyaknya kasus korupsi di DPR membuat rakyat tidak begitu percaya lagi
terhadap perwakilan rakyat tersebut. Padahal anggota DPR dipilih sendiri oleh
rakyat melalu pemilu yang dilakukan seiap lima tahun sekali. Di daerah, banyak
pemimpin yang juga melakukan tindak
pidana korupsi, seperti halnya bupati Kutai Kartanegara non aktif Rita
widyasari yang ditetapka oleh kpk sebagai tersangka TPPU bersama dengan rekannya
yakni komisaris PT Media Bangun Bersama
bernama Khairuddin. Rita dan Khairuddin diduga menguasai dana dari hasil
korupsi sekitar Rp. 436 miliar. Akhirnya Rita dan Khairuddin dijerat dengan
pasal 3 dan atau pasal 4 undang-undang
tentang pencucian uang juncto pasal 55 ayat 1 ke juncto pasal 65 ayat 1.
Sama halnya dengan bupati Nganjuk non
aktif Tufiqurrahman, KPK menjerat Tufiq dengan pasal TPPU, sebelumya ia dijerat
dengan sangkaan suap dan gratifikasi yang diduga terkait fee proyek, perizinan,
hingga promosi jabatan. Atas kasus yang menimpanya KPK menjerat Tufiqqurrahman
dengan melanggar pasal 3 dan pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal
65 ayat (1) KUHP. Padahal, sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat dan diberi
kepercayaan oleh rakyat untuk memajukan dan membuat daerah yang dipimpin
berkembang haruslah menjadi teladan dan contoh yang baik. Pemimpin yang korupsi
berarti tidak amanah dalam menjalankan tugasnya. Dimana visi dan misi yang
diutarakan ketika kampanye?, dimana janji-janji yang membuat rakyat percaya?
Semua menjadi omong kosong belaka tatkala korupsi menghampiri para pemilik
kekuasaan. Dengan banyaknya para pejabat melakukan tindak pidana korupsi
membuat stigma buruk dalam masyarakat bahwa seorang pejabat dengan mudahnya
bisa melakukan korupsi dikarenakan ia
mempunyai kuasa atas jabatannya, dia memiliki uang yang bisa memperkaya
dirinya, yang membuat rakyat yang memberinya kepercayaan semakin miskin. Dengan
memiliki kedudukan dan jabatan membuat para pejabat leluasa dalam melakukan
korupsi. Seharusnya pemerintah terkhusus lembaga yang mengatur tentang korupsi
dan pembuat kebijakan dan aturan, bisa lebih ketat dalam pengawasan agar pelaku
tindak pidana korupsi bisa jera dan tidak memberikan ruang untuk para pelaku
untuk melakukan atau mengulangi perbuatannya. Negara sebagai pelindung bagi
rakyatnya juga harus lebih tegas agar tikus-tikus berdasi tidak seenaknya bisa
mendapatkan jabatan kembali setelah mereka mejalani masa tahanannya. Negara
juga harus menjamin bahwa setiap warga negara harus memiliki hak yang sama di
mata hukum tidak memandang atas kasus
apa yang ia lakukan, semua kesalahan yang dilakukan harus di tindak dengan
hukum apa yang menjeratnya. Karena sesungguhnya hukum dibuat dan berlaku untuk
seluruh warga negara tidak memandang ia siapa dan dari mana asalnya, asalkan
salah tetaplah harus diproses sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku. Dan selaku warga negara haruslah taat akan hukum.[1]
[1]Dinda fairuz
naila, https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5587484603454925781#allpostskekuasaan di ranah lokal